Selasa, 30 Agustus 2016

Anak Sakit, Wujud "Protes" Kesibukan Orang Tua


"anakku sering sakit ya... padahal makannya udah bergizi, yang sakit panas, batuk, pilek, sampai diare yang selalu membuatku cemas saat pagi hingga sore." Ya... pagi hingga sore aku kerja, dan tanggung jawab besar yang menuntunku untuk menitipkan anakku ke orang lain. Berangkat jam 8 pulang jam 5 setiap hari, kecuali minggu.Dikantor pekerjaan selalu penuh, gak jarang kita antar teman sekantor untuk berbincang-bincang walaupun sedikit saja. Kerja didepan komputer yang berkepanjangan juga membuat syaraf mataku terganggu.Tak ada yang namanya awal atau akhir bulan. Tiap hari pekerjaan selalu harus dikerjakan (bisa dibilang wajib ya), lengah sedikit bisa telat pulang. Ini pilihanku, pilihan karena aku seorang sarjana komputer, seorang sarjana yang berprinsip pendidikan tinggi harus mendapat pekerjaan yang tinggi pula, sesuai dengan bidangnya dan harus menjadi wanita karir yang rela meninggalkan anak kecil.

Suami, ya suamiku bisa dibilang kurang akrab dengan ibuku (maksudnya kalau bicara cuma seperlunya saja). Mungkin itu yang membuatnya kadang malas pulang tepat waktu. Akhirnya si kecilpun seharian bersama orang lain. 

Sedih ya, kalau pagi diatar kerumah orang, dan dia menangis karena tidak mau. Terpaksalah yang saya lakukan untuk meninggalkannya dengan orang lain, walaupun kadang di perjalanan menuju kantor saya sering menangis mengingat tangisannya. Saya cuma bisa bergumam "nanti istirahat mama jemput dek...tenang...tenang...". Selepas istirahatpun begitu, saat dia kuantar, dia cuma bisa nangis dan saya cuma bisa menjawab, "nanti kalau mama pulang tak jemput ya dek, adek main disini dulu ya...mama mau cari uang buat jalan-jalan sama beli susu adek". Selama 1,5 tahun itu yang saya lakukan buat anak saya, sampai anak saya paham dengan kondisi saya yang harus bekerja. Dia sudah tidak menangis lagi, cuma diam saat saya tinggal dan bilang dengan polosnya "mama mau kerja ya, adek diam disini ya". Ya, si kecil yang sudah berumur 1 tahun ini pengertian sekali sama kondisi mamanya.

Selama 1,5 tahun itu kondisi sikecil jarang sehat, karena saya ibu baru, saya cuma pasrah dengan pengasuh anakku. Ya, pengalamannya yang menjadikan saya sangat pasrah saat anak saya sakit.
Sakit yang diderita si kecil memang saya anggap wajar, kalau cuma panas, batuk, pilek saya masih santai, tapi kalau sampai muntah (maaf) sampai diare saya agak panik. Ini yang menjadi teguran dari Allah untuk saya, menyepelekan kesehatan anak. Padahal ini adalah aksi protesnya karena seharian ditinggal mamanya.

Semakin lama sakit yang diderita bukannya tambah baik, malah tambah buruk. Walaupun cuma panas, tapi kalau tiap bulan apa ya tak kawatir juga. Sampai suami saya menyuruh saya untuk resign dari pekerjaan setelah Lebaran.

Banyak pertimbangan yang saya pikirkan untuk resign dari pekerjaan, mulai dari "bagaimana dengan tanggapan ibu saya nanti, bagaimana dengan karir saya selanjutnya, bagaimana dengan keuangan keluarga selanjutnya, bagaimana dengan tanggapan keluarga besar dan orang lain, bagaimana dengan kantor ini dll". Akhirnya dengan banyak pertimbangan saya menunda rencana itu, dan saya berpikir mungkin karena lingkungan anak saya seperti ini.

Oktober 2015 saya menaruh anak saya ketempat penitipan anak (TPA) yang jaraknya jauh dari rumah saya. Saya rela anak saya berangkat pagi pulang sore, karena saya berfikir Ini tidak hanya sekedar penitipan anak, tapi sekaligus dengan sekolah usia dini, tidak hanya itu ditempat ini juga diajarkan mengaji, solat sampai hafalan Al Quran. Ya, ini merupakan tempat terbaik bagi anak saya menurut saya dan suami, tapi tidak menurut si kecil.

1 bulan disana, anak saya sudah bisa buang air kecil sendiri dan hafal surat-surat pendek. Awal bulan ke-2 anak saya sakit, 3 hari panas tak turun-turun disertai diare, karena saya mendapat jaminan kesehatan dari kantor saya masih tenang masalah biaya. Kami bawa si kecil ke klinik tempat rujukan pertama, saya minta cek darah untuk memastikan anak saya tidak terjangkit DB seperti pengalaman suami saya dulu, walaupun si dokter tidak memberi saran, tapi saya tetap meyakinkan dokter itu, karena resiko anak saya yang umurnya masih 23 bulan ini. Dengan perasaan was-was yang takut nanti si kecil di opname saya masih memikirkan bagaimana nanti pekerjaan saya. Dan ternyata setelah cek darah, anak saya didiagnosa gangguan pencernaan, ada trombosit berlebih pada saluran pencernaan anak saya yang membuat dia panas tak kunjung sembuh. Apa yang salah dari makanan anak saya, padahal dia saya bekali makanan sendiri dan disana juga tidak ada jajan sembarangan (setau saya). 3 Hari ijin tidak kerja untuk merawat si kecil dan hari berikutnya anak saya tetap saya titipkan ke TPA itu. Selang 2 minggu anak saya drop lagi, biasanya ceria saat kujemput, tapi kini dia diam gak mau bicara, sampai kita bujuk untuk makan nasi goreng kesukaannya, dia cuma tutup mulut, saya bujuk lagi beli es cream dia juga diam tutup mulut. Akhirnya kita pulang dengan penuh tanya, "kenapa kamu dek?". Sampai rumah anak saya tidur pulas. Tak minum susu seperti biasanya. Tepat tengah malam, anak saya batuk seperti sesak dan tidak bisa bernafas, saya dan suami kaget dan langsung memberi pertolongan pertama, takut dia tersedak atau apa. Dia nangis sambil batuk-batuk seperti sesak nafas, ibuku langsung bangun dari tidurnya dan keluar melihat cucunya yang menangis tak mau diam. Semua pertanyaannya cuma lewat begitu saja ditelinga. Saya cuma berpikiran, "kamu kenapa nak? ayo batuknya berhenti, jam segini gak ada tempat buat berobat yang buka." Dan tiba-tiba ada satu kalimat yang membuyarkan pikiran saya. "kalau anakmu sakit terus, kamu harus berhenti kerja ma! mau anakmu begini terus?" saya langsung kaget mendengar ucapan suami saya itu, dan ibu saya pun langsung menyetujui itu, "kamu gak usah kerja lagi, diam dirumah, biar dia belajar sama mamanya." Mendengar itu semua pikiran langsung tenang, dan gak terasa si kecil nangisnya mulai mereda. Alhamdulillah... kata-kata ini membuat saja tenang dan sejuk, entah kenapa pikiran tentang resign itu kini hadir kembali dan mulai terang seperti ada harapan baru ketika saya nanti tidak bekerja lagi.

Keesokan harinya saya ijin untuk memeriksakan anak saya, dan kali ini anak saya terserang sakit yang menyerang pernafasan. Ya Allah, kenapa lagi dengan si kecil? Setelah pencernaan diserang, sekarang gati pernafasannya, apa karena dia terlalu lelah karena sekolah barunya... Dari sini suami saya menasehati saya lagi, "sudahlah mama resign aja, percuma kerja kalau anaknya sakit terus, kerja dibayar tapi anak sakit apa bahagia? percuma kan? Gaji mama berapa sih? Masih gak percaya sama Allah? mending diam dirumah jaga anak, masalah rejeki gak akan tertukar, Insya Allah kalau kita yakin rejeki pasti ada, buat anak dan mama. Percaya dan yakin aja sama Allah ya." Lagi-lagi kata-kata suami saya itu mendinginkan hati saya dan meyakinkan saya untuk berbicara pada atasan agar mengijinkan saya untuk berhenti kerja. Sangat berat rasanya saya memohon untuk resign. Dan mau tidak mau itu harus dilakukan demi anak dan suami. Ya…demi keluarga kecil saya.

Alhamdullilah, diawal tahun 2016 saya memulai hari-hari saya dengan si kecil. Keajaiban apa yang saya dapatkan? Banyak sekali... Mulai dari memantau sendiri perkembangan anak, kesehatan si kecil yang semakin membaik, dan rejeki dari Allah yang lebih dari cukup. Sampai saat ini anak saya jarang sakit dibandingkan dengan dulu ketika saya bekerja. Kini si kecil tidak pernah protes lagi, dia selalu ceria walaupun kita sering beradu argumen (anak saya sudah pandai bicara sejak umur 1 tahun), dia sangat hiperaktif sampai saya kualahan melihat tingkahnya dan kadang membuat saya naik darah, tapi dengan itu semua si kecil ini tetaplah si batita yang ceria dan tetap sayang pada ayah dan mamanya dan tetap mengerti akan kondisi mamanya... We Love U nak... "ZHIAN" 

Besar penyesalan yang saya rasakan, hilang masa-masa lucu bersama anak saya selama 1,5 tahun. Ini adalah keingkaran saya terhadap komitmen waktu si kecil lahir "kamu adalah anak mama dan ayah, bukan anak uti (nenek), tante, ataupun orang lain". 
Kenapa saya terlalu egois... ya karena saya masih memikirkan masa depan tanpa adanya rasa percaya sama Yang Maha Esa.
Sebelum saya resign dari pekerjaan, saya selalu dibayang-bayangi oleh 2 quote ini
"Anak adalah titipan Allah, kenapa kita masih menitipkan pada orang lain?"
“Beranikah kamu menitipkan barang berharga milikmu ke orang lain? Seperti smartphonemu? Dan bagaimana dengan anakmu?”

Baca juga : Gelarku Sarjana dan Menjadi Ibu Rumah Tangga, I'm Fine... 


EmoticonEmoticon